Puluhan tahun menetap di Jakarta kemudian harus pindah ratusan kilometer jauhnya tentu membuat banyak sekali perbedaan, perubahan. Tak semuanya buruk, pun tak semuanya baik. Inilah plus minus hidup jauh dari ibukota menurut pengalaman saya.
Sebelum membahas enak-enaknya hidup jauh dari ibukota, saya akan beberkan yang ngga enaknya dulu, versi saya tentunya. Ngga enak yang pertama adalah sulitnya akses transportasi. Ya, di Jakarta , tidak punya kendaraan pribadi bukan masalah besar. Saya bisa memilih angkutan mulai dari bus, angkot, kereta, transjakarta, atau transportasi berbasis online. Tapi di sini, di salah satu pulau kecil di Indonesia ini, tidak demikian. Angkot hanya terpusat di kota, nyaris tak ada bus di sini, apalagi kereta. Artinya, memiliki kendaraan pribadi seperti motor atau mobil adalah penting untuk memudahkan bepergian.
Ngga enak kedua adalah mahalnya biaya hidup. Oke, yang satu ini relatif, ada daerah yang memiliki biaya hidup lebih murah dibanding Jakarta, tapi sayangnya, tempat yang saya tinggali ini bukan salah satunya. Di sini harga sayur mayur dan makanan relatif lebih mahal, belum lagi bicara soal kualitas dan rasa.
Ngga enak ketiga yang saya rasakan yaitu nyari apa-apa susah. Suatu kali pernah saya lapar di tengah malam dan tidak ada makanan di rumah. Saya pun berpikir praktis dengan menghubungi salah satu restoran fast food terkenal dan ingin pesan antar. Namun apa yang saya dapatkan? Resto satu menjawab sudah akan tutup sehingga tidak bisa menerima pesan antar lagi. Sedangkan resto dua dan tiga yang buka 24 jam menolak pesanan karena jarak antar yang diluar jangkauan. Ini saya yakin tidak akan terjadi di Jakarta.
Ngga enak keempat, adalah ketinggalan berbagai acara. Let’s face it, hampir seluruh acara atau kegiatan mulai dari konser, seminar, bedah buku, diskusi, gathering, dan banyak lagi acara lain pasti diadakan di ibukota tercinta, Jakarta. Sekalipun di luar Jakarta, mungkin hanya di kota-kota besar seperti Yogyakarta dan Surabaya. Sedangkan di pulau kecil seperti ini—yang mana jumlahnya sangat banyak di Indonesia—jarang sekali. Akhirnya, warga yang sebenarnya bersemangat mengikuti acara-acara tersebut—dalam hal ini saya—terpaksa gigit jari, atau harus merogoh kocek lebih untuk ongkos pulang pergi Jakarta dan itu tidaklah murah.
Untuk yang ngga enak-ngga enak, sepertinya cukup empat poin di atas. Walaupun sebenarnya masih banyak lagi. Sekarang mari move on dan mencari sisi positif yang tentunya ada juga. Enaknya hidup jauh dari kota Jakarta tercinta adalah tidak macet! Wow! Bagi saya pribadi, pemandangan jalanan lengang, sepi, lancar, dan tertib di Jakarta itu ibarat tayangan anime favorit yang hanya muncul seminggu sekali yaitu pada weekend. Tapi di kota kecil ini, Anda tak perlu memikirkan waktu tempuh yang lama, ke tempat yang jauh sekalipun. Karena jalanan nyaris selalu lancar dan lengang. Betapa Anda tak akan stres di jalanan, tidak terburu-buru, dan masih bisa santai di pagi hari.
Enak kedua yaitu sepi. Lagi-lagi, ini relatif bagi masing-masing orang. Ada yang suka kota yang sepi dan ada yang ramai. Saya sendiri akhirnya menikmati hal ini sebagai sebuah hal enak. Karena ibukota terlalu bising, ramai, riuh, tak ada tempat tenang untuk jiwa-jiwa yang kelelahan. Tapi di kota ini, masih banyak ruang-ruang sepi karena penduduknya tidak terlalu padat. Jika sedang ingin di keramaian, Anda hanya perlu menuju pusat kota.
Enak selanjutnya yaitu melihat sisi lain kehidupan di Indonesia. Di kota yang jauh dari Jakarta ini, hal yang menarik adalah berbaur dengan orang-orang dari berbagai daerah. Tetangga saya, misalnya, ada yang berasal dari Aceh, Medan, Padang, dan Flores dengan kekhasannya masing-masing. Sedangkan di Jakarta, mayoritas yang saya temui adalah orang Jawa. Bahkan orang Sumatra pun bisa dikira orang Jawa karena logat aslinya telah hilang.
Di sini, sebagian besar martabak telur disandingkan dengan kuah kari. Di sini, warung tenda pinggir jalan bisa menyajikan seafood dengan harga murah namun lezat. Di sini, membeli telur dihitung per butir, bukan kilo. Ini adalah hal-hal baru bagi saya. Dan ini menarik.
Satu hal lagi yang benar-benar saya sadari setelah tinggal jauh dari ibukota adalah Indonesia harusnya tak melulu tentang Jakarta. Seperti yang dikatakan ketua KPU DKI saat memberi sambutan di debat ketiga Pilkada DKI Jakarta, “pemberitaan mengenai pilkada terlalu Jakarta sentris”. Sebenarnya, tak hanya soal Pilkada, setiap harinya, pemberitaan media memang sangat Jakarta sentris. Saya yang saat di Jakarta saja sudah jarang nonton TV, di kota ini semakin jarang. Karena setiap saya menonton berita, yang muncul sebagian besar seputar Jakarta yang sebenarnya tidak ngaruh (lagi) buat saya. Jadi, untuk tahu hal-hal yang terjadi di daerah tinggal saya ini, saya harus membeli koran lokal atau situs-situs berita lokal yang kualitasnya tidak seperti di Jakarta.
Yah, tulisan ini mungkin memang hanya rentetan keluh kesah saya. Tapi semoga bisa menambah referensi pembaca yang ingin tinggal di daerah-daerah jauh dari ibukota agar tidak kaget nantinya.